Khotbah Minggu, 13 April 2025
Nas bacaan: Yesaya 50:4-11 dan Lukas 23:26-32
oleh Pdt. NY. N. Refialy
Bapak Ibu Jemaat yang Tuhan Yesus Kasihi, Kini kita sudah memasuki minggu sengsara
Kristus yang ke tujuh (terakhir). Dalam kalender liturgi gerejawi minggu
sengsara yang ke tujuh ini disebut minggu Palmarum yaitu minggu dimana
Tuhan Yesus memasuki kota Yerusalem untuk menyongsong kematian-Nya di salib
dengan mengendarai seekor keledai muda dan diiringi oleh orang banyak yang
menghamparkan pakaian maupun ranting pohon sambil bersereru-seru, “hosana
bagi Anak Daud, diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan, hosana di tempat
yang Mahatinggi” (Mat. 21:9). Sehubungan dengan itu maka dalam tradisi
gereja, termasuk GPM, pada minggu palmarum ini selalu dilaksanakan peneguhan
sidi baru bagi para pemuda-pemudi gereja yang dianggap sudah dewasa dalam iman,
sekaligus minggu perhadliran bagi semua anggota sidi gereja untuk menyatakan
kesiapan hati memuliakan Tuhan dalam Perjamuan Kudus Jumat Agung. Dan di jemaat
…. ini akan diteguhkan … orang menjadi pengiring Kristus. Dalam kaitan itulah
maka perikop pembacaan kita tadi, yakni Yesaya 50:4-11 dan Lukas 23:26-32
dijadikan sebagai bahan pemberitaan firman di saat ini.
Bapak Ibu Jemaat yang Tuhan Yesus Kasihi, jika kita membaca dengan baik kedua perikop bacaan kita maka yang hendak ditekankan kepada kita adalah bagaimana menjadi hamba Tuhan terutama ketika hamba itu mengalami penistaan dan penganiayaan karena imannya, karena ia melakukan tugas sebagai hamba Tuhan. Bagi seorang hamba Tuhan, penderitaan seperti ini bukanlah sebuah aib yang memalukan melainkan suatu kesaksian yang mengharumkan nama Tuhan Yesus. Sehubungan dengan itu maka khotbah hari ini akan difokuskan pada ayat 26 yang berbunyi, “Ketika mereka membawa Yesus mereka menahan seorang yang bernama Simon dari Kirene, yang baru datang dari luar kota, lalu ditelakkannya salib itu di atas bahunya, supaya dipikulnya sambil mengikut Yesus”.
Bapak Ibu Jemaat yang diberkati Tuhan,. Ada sebuah tulisan yang menarik mengenai Simon dari Kirene ini. Bahwa pada waktu itu ia baru saja tiba di kota Yerusalem. Jarak antara kota Kirene dengan kota Yerusalem adalah sekitar 1500 km dan dapat ditempuh dengan berjalan kaki selama 3 – 5 bulan. Sudah tentu Simon sedang lelah/capek ketika masuk ke kota Yerusalem. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa ia harus dipaksa untuk memikul salib Yesus dan berjalan menuju ke golgota yang berjarak 600 meter dari tempat dimana Yesus jatuh karena tidak kuat lagi menahan beratnya salib itu. Awalnya Simon memikir bahwa ia adalah orang yang paling sial sedunia. Sebab ia yang sementara
lelah dan lapar serta ingin beristirahat, tiba-tiba ditahan oleh prajurit Romawi dan dipaksakan memikul salib, salib yang bukan miliknya. Ia bertanya dalam hati: mengapa saya harus memikul beban orang lain. Memang, saat itu ia belum menyadari bahwa ia sedang melangkah dengan Juruselamatnya. Memang, tidak ada suara dari Yesus. Tubuh-Nya lemah, tetapi tatapan mata-Nya yang penuh kesejukan. Simon mulai merasa bahwa tatapan mata itu bukanlah tatapan seorang yang bersalah. Tatapan mata itu adalah tatapan yang penuh kasih. Dan seakan Yesus berkata, “terima kasih Simon. Ini memang bukan salibmu tapi salib Aku. Tapi Aku tau kau memikulnya untuk-Ku”. Dan saat itulah Simon yang tidak pernah mencari Yesus justeru disentuh oleh kasih-Nya. Apa yang awalnya tampak seperti kesialan berubah menjadi perjumpaan Ilahi yang mengubah segalanya. Ia yang dulunya tidak dikenal, sekarang dikenal dan dikenang disepanjang sejarah kekristenan. Ia begitu terkenal karena namanya tercatat dalam kitab kehidupan karena ia telah memikul salib Yesus.
Bapak Ibu Jemaat yang Tuhan Yesus Kasihi, Sebagai
Persekutuan umat Tuhan maka apa yang dikisahkan dalam perikop ini khususnya
dalam Lukas 23:26 yang mengisahkan tentang Simon dari Kirene ini tentu memiliki
nilai-nilai iman yang sangat penting dalam hidup kita di zaman sekarang ini,
yaitu kadang Tuhan tidak minta izin waktu Ia mau mengubah hidup kita. Malahan
Dia sepertinya paksakan kita masuk ke jalur penderitaan, ke beban yang kita
tidak mengerti. Namun itu bukan hukuman melainkan sebuah panggilan. Tuhan tau
dibalik beban itu ada perjumpaan, dibalik rasa malu yang kita alami, ada
kemuliaan. Di balik darah yang tercurah ada anugerah. Simon pikir ia Cuma lewat
tapi justru namanya tercatat dalam kitab kekekalan karena dia bersedia memikul
salib walau bukan miliknya. Jadi jika hari ini kita sedang merasa kenapa beban
kita begitu berat, atau mengapa kita pikul beban yang bukan tanggungjawab kita,
mungkin kita tidak mengerti sekarang. Tuhan sepertinya diam saja ketika kita
mengalami banyak kesfggvvvgukaran dalam hidup ini lalu membuat kita
bertanya-tanya. Tapi lihatlah tatapan mata Tuhan yang penuh kasih itu sedang
tertuju kepada kita, karena disaat itu kita sedang dilibatkan didalam rencana-rencana
Tuhan yang indah bagi hidup kita dan bagi orang lain dan dunia ini. Maka
janganlah buru-buru untuk mengeluh dan bersungut-sungut, serta janganlah remehkan salib yang kita pikul sebab justeru disitulah titik balik dalam hidup kita, bisa jadi yang awalnya kita belum sungguh-sungguh menjadi murid-Nya justeru menjadi murid yang taat dan setia hingga akhir hidup kita. Lihat saja Simon dari Kirene yang walau pun dipaksa memikul salib yang bukan miliknya namun ketika ia melihat tatapan mata Yesus yang penuh kasih maka ia, walau pun sudah sangat lelah dan lapar namun ia tetap bersemangat untuk memikul salib Yesus sampai di bukit Golgota yang berjarak 600 meter dan penuh onak dan duri.